Sabtu, 22 November 2014

Tuk Kecil yang Baik Hati

Tuk Kecil yang Baik Hati

Hans Christian Andersen


Tuk Kecil! Sebuah nama yang sangat aneh! Namun, nama itu bukan nama sebenarnya anak kecil itu. Nama aslinya adalah Carl, tetapi ketika dia masih sangat kecil dan belum bisa berbicara dengan jelas, dia sering menyebut dirinya Tuk. Sulit untuk mengatakan mengapa dia menyebut dirinya Tuk, karena sebutan itu sama sekali tidak mirip dengan "Carl", tetapi lama kelamaan, orang tuanya pun memanggil dirinya dengan nama Tuk.
Suatu hari, Tuk Kecil ditinggalkan sendiri di rumah untuk menjaga adik perempuannya, Gustava, yang jauh lebih muda darinya dan masih bayi. Namun pada saat bersamaan, Tuk Kecil juga perlu mempelajari tugas yang diberikan oleh sekolahnya. Tuk Kecil harus melakukan kedua hal tersebut secara bersamaan.
Tuk Kecil menggendong adiknya sambil belajarTuk Kecil yang sangat sayang terhadap adiknya, mendudukkan saudara perempuannya di pangkuannya, menyanyikan semua lagu yang dia tahu untuk menghibur adiknya, sambil sekali-kali melirik ke buku pelajaran geografi yang diletakkan di sampingnya, karena besok pagi dia diharuskan menghapal nama semua kota di Seeland dan bisa menceritakan kisah tentang kota-kota tersebut di depan kelas.
Ibunya pulang ke rumah pada akhirnya, dan mengambil Gustava ke dalam pelukannya. Tuk Kecil dengan cepat berlari ke dekat jendela, lalu membuka buku pelajarannya, dia pun membaca dan membaca lagi sampai akhirnya matanya sedikit perih karena saat itu hari sudah mulai gelap. Memang, suasana di dalam rumahnya selama ini gelap gulita jika malam menjelang karena ibunya tidak mampu membeli lilin.
"Ada wanita tukang cuci yang berjalan menyusuri jalan," ujar sang Ibu saat dia menatap ke luar jendela. "Sepertinya dia kesulitan untuk bisa berjalan, kasihan, dan sekarang dia harus membawa ember yang berat dari tempat pompa air. Jadilah anak yang baik, Tuk Kecil, dan larilah melintas jalan untuk membantu wanita malang itu, maukah kamu?"
Tuk Kecil pun berlari cepat untuk membantu wanita itu mengangkat ember yang cukup berat. Ketika dia kembali ke dalam ruangan, hari telah menjadi gelap. Tidak ada lilin yang bisa dinyalakan, sehingga dia tidak bisa belajar lagi. Akhirnya Tuk Kecil pergi ke tempat tidurnya. Di sana dia berbaring memikirkan pelajaran geografi yang sempat dipelajarinya tadi siang sampai sore, tentang kota-kota di Seeland, dan semua yang gurunya pernah jelaskan.
Dia tidak bisa membaca buku lagi, karena hari telah gelap. Jadi, dia meletakkan buku geografinya di bawah bantalnya, karena ia pernah mendengar seseorang yang mengatakan kepadanya bahwa hal tersebut akan membantunya untuk mengingat pelajarannya, walaupun Tuk Kecil tidak yakin akan kebenaran hal itu.
Di sana dia berbaring dan berpikir keras, sampai tiba-tiba dia merasakan seseorang yang dengan lembut memberinya ciuman selamat tidur kepadanya. Dia pun merasa antara tertidur dan tidak, karena dia seolah-olah melihat wanita tua pencuci baju secara samar-samar, di mana mata wanita tua menatapnya, dan dia pun mendengar wanita itu berkata: "Sangat disayangkan apabila kamu belum berhasil menghapal pelajaranmu besok, Tuk Kecil. Kamu telah membantu saya, sekarang saya akan membantu kamu, dan semoga Tuhan akan menolong kita berdua".
Seketika itu juga halaman-halaman buku mulai bergemerisik di bawah kepala Tuk Kecil, dan dia pun mendengar sesuatu yang merangkak di bawah bantalnya.
"Keok, keok, keok!" teriak seekor ayam, saat ayam tersebut merayap ke arahnya. "Aku ayam dari kota Kjoge," katanya.
Ayam itu pun kemudian menceritakan berapa banyak penduduk di kota kecil itu, tentang pertempuran yang dulu terjadi di sana, dan hal-hal besar yang pernah terjadi dan layak disebutkan dalam sejarah. Tidak begitu lama, seekor burung kayu yang besar melompat naik ke atas tempat tidurnya. Dia adalah burung kakatua dari Kota Praesto. Dia pun menyebutkan jumlah penduduk di Praesto dan menceritakan sejarah kota tersebut kepada Tuk Kecil.
Tuk Kecil mengendarai kuda bersama seorang kesatriaSekarang, Tuk Kecil tidak lagi berbaring di tempat tidur. Dalam sekejap dia telah berada di atas punggung seekor kuda, dan dia menunggangi kuda tersebut, berpacu dan berpacu kencang! Seorang kesatria yang memakai helm besi yang gagah, seorang kesatria yang sepertinya berasal dari zaman dulu, memeluk Tuk Kecil dengan erat di atas kuda itu, dan mereka berkuda bersama-sama melalui hutan di kota kuno Vordingborg, yang pada zaman dahulu kala, pernah menjadi kota yang sangat besar dan ramai, di mana di kota tersebut, menara-menara tinggi istana raja menjulang tinggi naik menghadap langit, dan lampu yang terang terlihat berkilauan melalui jendela.
Di dalam istana terdengar musik dan pesta yang riuh. Raja Waldemar terlihat menari bersama seorang wanita bangsawan di lantai dansa. Dalam sekejap, pagi telah tiba, lampu dimatikan, matahari mulai terbit, dan garis-garis besar bangunan terlihat memudar, dan akhirnya tinggal satu menara tinggi saja tetap yang menjadi tanda di mana istana kerajaan itu pernah berdiri. Kota besar telah menyusut menjadi kota kecil dan miskin. Anak-anak sekolah yang mempelajari sejarahnya, hanya tahu bahwa jumlah penduduk di kota itu sekarang hanya berkisar dua ribu jiwa.
Tuk Kecil masih berbaring di tempat tidurnya. Dia tidak tahu apakah sedang bermimpi atau tidak, tetapi sekali lagi terasa ada seseorang yang berada di sampingnya.
"Tuk Kecil! Tuk Kecil!" teriak sebuah suara yang tidak lain berasal dari seorang pelaut muda. "Aku datang untuk menyampaikan kepada kamu, salam hormat dari Korsor. Korsor adalah sebuah kota yang baru, sebuah kota yang ramai, dengan kapal uap yang berlalu-lalang. Pada dahulu kala, orang menyebut kota itu adalah kota yang buruk, tetapi sekarang tidak lagi."
Tuk Kecil hanya diam menyimak sementara si Pelaut Muda itu masih bercerita. "Kota Korsor terletak di tepi laut. Di sana masih ada jalan besar yang luas, dan juga taman yang menyenangkan. Di kota ini lahirlah seorang penyair cerdas, dan dari kota ini kapal-kapal bisa melakukan perjalanan ke seluruh dunia. Kota ini penuh dengan aroma parfum dan mawar terindah yang mekar di sekeliling Kota Korsor."
Tuk Kecil pun bisa mencium harum mawar dan melihat hijau daunnya yang segar. Tetapi tidak berapa lama, daun yang hijau menjadi terlihat menebal dan terlihat tumbuh menjadi dua menara tempat ibadah yang tinggi. Dari sisi bukit yang ditumbuhi rumput, menyemburlah air mancur disertai pelangi, dan didengarnya suara musik mengalun. Tidak lama kemudian, terlihat seorang raja yang duduk di sampingnya, mengenakan mahkota emas kepalanya yang ditumbuhi rambut yang hitam legam dan panjang. Itu adalah Raja Hroar dari Kota Roskilde.
"Jangan lupakan kota kami," pesan Raja Hroar.
Kemudian semua lenyap, meskipun ke mana dia pergi, dia tidak tahu. Rasanya serasa membalikkan halaman sebuah buku. Sekarang, di hadapannya berdirilah seorang wanita petani tua dari Kota Soro, kota kecil yang tenang di mana rumput hijau tumbuh subur di mana-mana. Celemek berwarna hijau diletakkan di atas kepala dan punggungnya, dan celemek tersebut terlihat sangat basah, seolah-olah itu telah turun hujan keras.
Dia pun menceritakan banyak hal menarik tentang Kota Soro. Tiba-tiba dia  membungkukkan tubuh dan mengguncang kepalanya seolah-olah dia adalah seekor katak yang akan melompat. "Semuanya basah, selalu basah," seru si Wanita itu sebelum dia berubah menjadi seekor katak. "Kita harus berpakaian sesuai dengan kondisi cuaca," katanya.
Tuk Kecil masih diam dan menyimak sambil mendengar penjelasan si Wanita itu. "Dahulu kala, kota kami memiliki ikan yang terbaik, sekarang kota kami penuh dengan anak-anak yang pipinya merah, dan anak-anak tersebut bisa mempelajari kebijaksanaan di kota ini."
Tak lama kemudian, suara katak terdengar bersahut-sahutan dan seolah-olah ada sesuatu yang berjalan di rawa-rawa dengan sepatu bot yang berat. Suaranya membuat Tuk Kecil pun makin lama makin mengantuk sehingga akhirnya tertidur. Tetapi dalam tidurnya pun, Tuk Kecil bermimpi. Adik perempuannya, Gustava, dengan matanya yang berwarna biru dan rambutnya yang berwarna kuning keemasan, telah tumbuh menjadi gadis yang tinggi dan sangat cantik. Walaupun adiknya tidak memiliki sayap, namun dia dapat terbang dan membawanya mengangkasa di atas Kota Seeland.
"Apakah kamu mendengar ayam jantan berkokok, Tuk Kecil? Kukkuruyuk! Ayam-ayam beterbangan ke sana kemari di Kota Kjoge, dan di sana kamu akan memiliki peternakan besar, dan kamu sendiri tidak akan menderita kelaparan. Semua ternak itu akan menjadi milikmu! Kamu akan menjadi orang kaya dan bahagia. Rumahmu akan berdiri seperti menara di istana Raja Waldemar," kata Gustava.
Gustava yang tengah terbang bersamanya kembali bercerita. "Ketahuilah, bahwa nama baikmu akan menyebar ke seluruh dunia, seperti kapal yang berlayar dari Korsor dan Roskilde. Kamu juga akan berbicara dan menjadi bijaksana seperti Raja Hroar."
Pada pagi hari yang cerah, Tuk Kecil terbangun dan dia tidak bisa mengingat mimpinya yang terakhir, tetapi itu tidaklah penting, karena dia tidak melupakan apa yang dirasakannya di semua perjalanan yang di alaminya kemarin malam.
Dengan cepat dia melompat turun dari tempat tidur dan mengambil buku pelajarannya dari bawah bantalnya. Dia pun melanjutkan kembali pelajarannya, dan mengangguk mengerti karena dia telah mengenal kota-kota tersebut dengan baik.
Tidak beberapa lama kemudian, Wanita tua pencuci baju yang kemarin ditolong olehnya, lewat di depan rumahnya, melongokkan kepalanya di pintu sambil mengangguk ramah dan berkata, "Terima kasih anak yang baik, atas bantuanmu kemarin. Semoga Tuhan mengabulkan semua mimpimu yang terindah!"
Tuk Kecil tidak mengingat mimpi indah bersama adiknya kemarin malam, tetapi itu tidak menjadi masalah karena Tuhan mengetahui segalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar